Kamis, 29 Januari 2009

PEMBELAJARAN DEMOKRASI

PEMBELAJARAN DEMOKRASI


Menjelang pesta demokrasi yang tinggal beberapa bulan lagi, saya ingin membuat refleksi atas keadaan bangsa saat ini.
Pengertian demokrasi merujuk pada sebuah gagasan tentang mengelola kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat yang berorientasi rakyat. Oleh karena itu bangsa, masyarakat dan setiap individu perlu melakukan pembelajaran demokrasi sebelum menjadi pelaku demokrasi.

Demokrasi bukanlah sebuah tujuan, tetapi alat untuk mencapai tujuan. Demokrasi bukanlah alat yang bisa ditanggalkan ketika sebuah tujuan telah tercapai. Demokrasi adalah alat yang selalu harus direvitalisasi agar kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat menjadi lebih bermartabat. Demokrasi yang lebih baik hanya mungkin dicapai dengan cara yang lebih demokratis.

Ditandai dengan jatuhnya rezim Orde Baru, Indonesia telah melampaui 8 tahun lebih bertransisi menuju demokrasi. Sejarah tentang peralihan kekuasaan negara yang kembali ‘memanas’ dengan munculnya buku “Detik-detik yang Menegangkan” karya BJ Habibie, karena melibatkan orang-orang yang sebenarnya memiliki peluang untuk memegang kekuasaan tanpa proses demokrasi yang sehat. Habibie yang dianggap oleh beberapa kalangan sebagai salah satu tokoh peletak dasar demokrasi di Indonesia, ternyata juga menyisakan cerita yang tidak sempurna, karena memang demokrasi tidak bisa sempurna dalam satu kondisi kemudian sempurna di kondisi yang lain.

Sejak peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie itulah, bangsa Indonesia bertransisi menuju demokrasi. Pembelajaran demokrasi pun berlangsung, baik melalui perilaku para politisi dan pejabat public maupun munculnya prosedur-prosedur baru bernegara.

Para politisi dan pejabat public yang menjadi pelaku sekaligus sumber pembelajaran demokrasi lebih banyak menjadi tontonan ketimbang tuntunan bagi rakyat untuk memahami demokrasi. Rakyat seringkali dibuat bingung, dan mulai membandingkan bahwa demokrasi yang seharusnya mensejahterakan mereka, ternyata tidak lebih baik daripada masa kepemimpinan sebelumnya yang dikatakan tidak demokratis.

Selain menonton para politisi dan pejabat public, pembelajaran demokrasi juga ditandai dengan adanya prosedur-prosedur baru yang berjalan, seperti partai yang kompetitif, pemilu langsung, pemilihan kepala daerah langsung, parlemen dan eksekutif yang berbeda dan tak kalah pentingnya adalah media masa yang semakin bebas.

Partai politik semakin menjamur—dengan berbagai kepentingannya—menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses demokrasi. Pemilu 1999 yang diikuti 48 partai, kemudian Pemilu 2004 yang diikuti oleh 24 partai, Pemilu 2009 yang akan diikuti oleh 44 partai, mencerminkan bahwa banyak pihak sadar untuk berkelompok dan berorganisasi.
Akan tetapi demokrasi bukanlah diukur dari banyaknya partai, tapi apa yang dilakukan partai tersebut untuk rakyat yang memilih dan tidak memilihnya. Apa yang dilakukan orang-orang partai ketika berkuasa, apakah hanya memerintah ataukah melayani dengan segenap hati?
“Ingatlah hai orang-orang yang berkuasa. Godaan terbesarmu adalah kekuasaanmu.” (Marsigit)

Sisi gelap lain dari masa transisi menuju demokrasi adalah kebebasan yang seringkali tidak disertai dengan tanggung jawab. Contohnya adalah media massa yang semakin bebas dan beberapa diantaranya tanpa memikirkan tanggung jawab dalam mengedukasi masyarakat (terlebih dahulu) untuk bisa memilih dan memilah mana yang cocok baik berdasar usia maupun budaya, menyebabkan media bukan lagi mencerminkan demokrasi atau kebebasan, tapi malah kebablasan.

Apa pun yang terjadi dalam 8 tahun perjalanan transisi demokrasi ini, ada pembelajaran yang berbeda yang bisa didapatkan, yaitu pertama, Perilaku politisi yang santun dan pejabat publik yang kompeten bisa meningkatkan pemahaman, kepercayaan, dukungan rakyat tentang demokrasi. Akan tetapi di sisi lain, bisa terjadi sebaliknya; apa yang terjadi selama transisi demokrasi—perilaku politisi yang tidak santun, menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan politisnya serta pejabat publik yang tidak kompeten—menyebabkan menurunnya pengertian, dukungan dan kepercayaan tentang demokrasi.

Banyak contoh yang bisa dikemukakan untuk memberikan gambaran betapa proses transisi menuju demokrasi bisa memberikan dampak yang tidak selalu positif.

Pembelajaran demokrasi melalui perilaku politisi dan pejabat publik serta prosedur-prosedur baru yang berjalan tidaklah cukup. Demokrasi seharusnya menjadi bagian dari perilaku dan sikap warga negara dan pemerintah. Oleh karena itulah pembelajaran demokrasi perlu dilakukan dengan cara terstruktur.

Cara pertama untuk melakukan pembelajaran demokrasi secara terstruktur adalah dengan menyisipkan/menyusupkannya ke dalam kurikulum pendidikan (sekolah, akademi, perguruan tinggi, dll), bukankah pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Bagaimana mungkin menghasilkan warga negara yang demokratis tanpa pembelajaran demokrasi yang terstruktur?

Cara kedua pembelajaran demokrasi yang terstruktur adalah melalui program khusus yaitu menempatkannya dalam proses pembelajaran yang terarah, terencana dan terstruktur. Demokrasi dipelajari dalam wujudnya sebagai institusi.
Pembelajaran demokrasi di Indonesia penting untuk dilakukan secara terstruktur, sehingga para pelaku demokrasi bukanlah tokoh politik instan dan pejabat publik yang tidak kompeten, melainkan pelaku demokrasi yang memahami apa yang terbaik bagi bangsa, negara dan masyarakatnya.

Keuntungan dari pelaku demokrasi yang melakukan pembelajaran demokrasi secara terstruktur berpeluang menghasilkan kebijakan publik yang berorientasi kepada kepentingan rakyat, bukan hanya untuk mempertahankan kekuasaan.

Jika kesejahteraan rakyat menjadi tujuan dan demokrasi adalah alat untuk mencapainya, maka pembelajaran demokrasi secara terstruktur penting dilakukan untuk membangun individu yang berpandangan bahwa menjadi pemimpin yang baik sama nilainya dengan menjadi warga negara yang baik.

Secara mikro, guru sangat berperan dalam internalisasi nilai-nilai demokrasi. Dengan paradigma pendidikan kekinian, pembelajaran demokrasi dapat dimulai sejak dini. Pembelajaran berorientasi dan berbasis siswa adalah jawabannya. Melalui pengetahuan "subserve", konstruksi pengetahuan dalam berbagai kerja kelompoklah nilai-nilai demokrasi diinternalisasi.

1 komentar:

J5.105 mengatakan...

suwun pak,,
aku mari ngopi kata-katae sampeyan..