Selasa, 09 Desember 2008

PARADIGMA BARU PENDIDIKAN MATEMATIKA

MEMPROMOSIKAN PARADIGMA BARU PENDIDIKAN MATEMATIKA
Oleh: Mufarikhin (NIM. 261669)



Beberapa hal yang menjadi ciri praktik pendidikan di Indonesia selama ini adalah pembelajaran berpusat pada guru. Guru menyampaikan pelajaran dengan menggunakan metode ceramah atau ekspositori sementara para siswa mencatatnya pada buku catatan. Praktik pendidikan seperti ini ternyata sangat jauh dari hakikat pendidikan yang sesungguhnya, yaitu pendidikan yang menjadikan siswa sebagai manusia yang memiliki kemampuan belajar untuk mengembangkan potensi dirinya dan mengembangkan pengetahuan lebih lanjut untuk kepentingan dirinya sendiri. Praktik pendidikan yang demikian mengisolir diri dari lingkungan sekitar dan dunia kerja, serta tidak mampu menjadikan siswa sebagai manusia yang utuh dan berkepribadian.
Agar pembelajaran matematika lebih bermakna bagi siswa dan dapat memberikan bekal kompetensi yang memadai baik untuk studi lanjut maupun untuk memasuki dunia kerja maka diperlukan adanya perubahan paradigma pendidikan matematika. Paradigma baru pendidikan lebih menekankan pada peserta didik sebagai manusia yang memiliki potensi untuk belajar dan berkembang. Siswa harus aktif dalam pencarian dan pengembangan pengetahuan. Kebenaran ilmu tidak terbatas pada apa yang disampaikan oleh guru. Guru harus mengubah perannya, tidak lagi sebagai pemegang otoritas tertinggi keilmuan, indoktriner dan “diktator”(baca: diktat oriented), tetapi menjadi fasilitator yang membimbing siswa ke arah pembentukan pengetahuan oleh diri mereka sendiri. Melalui paradigma baru tersebut diharapkan di kelas siswa aktif dalam belajar, aktif berdiskusi, berani menyampaikan gagasan dan menerima gagasan dari orang lain, dan memiliki kepercayaan diri yang tinggi.
Menurut Zamroni (2000) dalam bukunya Paradigma Pendidikan Masa Depan disebutkan bahwa paradigma baru pendidikan menekankan bahwa proses pendidikan formal sistem persekolahan harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1)Pendidikan lebih menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada mengajar (teaching);
2)Pendidikan diorganisir dalam suatu struktur yang fleksibel;
3)Pendidikan memperlakukan peserta didik sebagai individu yang memiliki karakteristik khusus dan mandiri; dan
4)Pendidikan merupakan proses yang berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi dengan lingkungan.

the second quality of teaching

Let me share my idea about of the second quality of teaching.

I want to have identifying particular items of knowledge as "common sense". According to Burhanuddin Salam (2005), common sense based on a strict construction of the term, consists of what people in common would agree on: that which they "sense" (in common) as their common natural understanding. Some people use the phrase to refer to beliefs or propositions that most people would consider prudent and of sound judgment, without reliance on esoteric knowledge or study or research, but based upon what they see as knowledge held by people "in common". Thus "common sense" referred to the knowledge and experience which most people allegedly have, or which the person using the term believes that they do or should have.

Common sense remains a perennial topic in epistemology and many philosophers make wide use of the concept or at least refer to it. Some related concepts include intuitions, pre-theoretic belief, ordinary language, the frame problem, foundational beliefs, good sense, and axioms. Common-sense ideas tend to relate to events within human experience (such as good will), and thus appear commensurate with human scale. For example, the people knew that the water is used to watering the flowers, the food to fulfill their side when hungry. Commonsense reasoning is the branch of artificial intelligence concerned with replicating human thinking. There are several components to this problem, including: developing adequately broad and deep commonsense knowledge bases; developing reasoning methods that exhibit the features of human thinking, including: the ability to reason with knowledge that is true by default, the ability to reason rapidly across a broad range of domains, the ability to tolerate uncertainty in your knowledge, the ability to take decisions under incomplete knowledge and perhaps revise that belief or decision when complete knowledge becomes available, developing new kinds of cognitive architectures that support multiple reasoning methods and representations.